DI SAAT AKU TERJEBAK PADA CINTA YANG SALAH



Mila Blog - Pada akhir Oktober 2014 merupakan waktu yang begitu rentan bagi saya. Hati dan pikiran saya tercurah pada satu hal yang tidak pasti. Ya, saya menyadari bahwa saya sedang mengalami jatuh cinta sekaligus patah hati. Tapi, jatuh cinta saya kali ini sangat berbeda. Pengalaman baru untuk diri saya sebagai seorang wanita biasa.

Baru dua hari yang lalu saya dan dia saling jujur masalah perasaan. Semalam kita pun kembali membicarakannya penuh keseriusan. Ya, kami berdua sama-sama tahu bahwa kami menginginkan keseriusan yang jelas dalam sebuah hubungan. Mengingat usia kami yang tidak lagi remaja. Saya yang sebentar lagi menginjak 24 tahun dan dia yang akan menginjak 27 tahun. Umur yang cukup matang untuk ke tahap yang lebih serius.

Sayangnya, setiap hal yang kami inginkan tidak berjalan mulus. Berulang kali dia bertanya dan berusaha ingin mendapatkan jawaban dari saya atas pertanyaan, "Kamu yakin mau sama aku? Aku bukan pria baik-baik. Sedangkan kamu adalah wanita baik-baik,"

"Ya, aku yakin," jawab saya sambil menerka-nerka ada rahasia apa di balik pertanyaan yang ia ajukan. "Tolok ukur baik tidaknya seseorang dilihat berdasarkan penilaian masing-masing orang. Buat aku, kamu baik," tambahku berusaha meyakinkan.

"Kamu cantik dan baik," ujarnya perlahan seraya menghela napas panjang. "Rasanya aku nggak pantas mendapatkan kamu. Kamu terlalu baik. Kamu masih polos, lugu dan aku hanya takut nantinya malah mengecewakanmu atau menyakitimu."

Hening, saya hanya terdiam.

Kemudian dia melanjutkan, "Aku yakin pria yang bisa mendapatkan kamu adalah pria yang beruntung. Pria yang baik, pria yang sholeh, pria yang sejajar dengan kamu. Jarang loh, masih ada wanita sebaik dan secantik kamu saat ini. Kamu wanita baik-baik yang masih bisa menjaga diri kamu. Kalau aku jadi sama kamu, aku hanya takut nggak bisa menjaga kamu."

"Tidak bisa menjaga dalam arti apa?"

"Ya, kamu mengertilah. Kita sudah dewasa. Aku takut tidak bisa menjaga yang satu itu."

"Okay, I know it. Tapi kamu masih punya kesempatan untuk berubah."

"Ya, tapi hingga saat ini aku belum berubah. Aku masih sama. Aku takut suatu saat aku kumat dan aku takut menyakiti kamu."

"Tapi aku yakin, setiap pria pasti pernah melakukan hal yang tidak baik dan nanti ada saatnya ketika mereka benar-benar berada pada satu titik bahwa ia akan berhenti. Setiap orang bisa berubah dan itu semua kembali pada diri kamu sendiri."

"Iya, aku tau itu. Tapi aku takut kumat."

"Kamu cuma takut pada bayanganmu sendiri."

"Ya, iya sih." Jawabnya dengan nada putus asa.

"Kamu jangan merasa diri kamu serendah itu. Kita semua sama di mata Tuhan. Kita punya derajat yang sama sebagai manusia. Hanya saja perilaku yang membedakan. Masa lalu kamu, biarlah kamu simpan. Kalau kamu berkata seperti itu, apa kamu nggak pernah berpikir bisa mendapatkan wanita baik-baik?"

"Setahu aku, jodoh itu merupakan cerminan dari diri kita. Apa yang telah aku lakukan, aku perbuat selama ini terlalu buruk. Suatu saat aku akan mendapatkan wanita yang merupakan cerminan dari diriku."

Aku kembali menyanggah dan rasanya tidak adil jika ia harus berbicara seperti itu. Seolah-olah ia merasa pesimis pada hidupnya sendiri. "Tapi apakah pria buruk tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan wanita baik?"

"Aku nggak tahu."

"Kamu pernah sadar nggak, Tuhan punya rahasia ketika Dia mempertemukan seseorang ke dalam hidup orang itu?"

"Maksudnya?"

"Maksudnya Tuhan punya rahasia mengapa aku dan kamu dipertemukan. Kita nggak tahu apa tujuan Tuhan telah mempertemukan aku dan kamu. Tuhan punya cara dan rencananya sendiri. Biasanya dari cara dan rencananya itu Tuhan memberikan jawaban. Tapi kita nggak tau apa jawaban di balik semua itu."

"Oh iya, jadi masih misteri ya. No one knows."

"Ya, itulah. Jadi kamu nggak perlu pesimis sama hidup kamu. Nggak semua pria buruk tidak bisa mendapatkan wanita baik."

"Iya..." jawabnya menggantung ragu-ragu.

"Dari pertama kenal, kamu sendiri nyaman nggak sama aku?"

"Nyaman, nyaman banget. Kamu wanita baik-baik yang aku kenal. Kamu itu baik banget."

"Dan, baru kali ini aku menemukan orang yang takut memacari aku karena masa lalu, sikap dan perilakunya yang nggak baik."

"Maaf ya, kalau aku bilang kayak gitu. Aku cuma mau jujur aja sama kamu. Biar kamu tahu pahitnya dulu."

"Iya, nggak apa-apa. Aku malah sangat menghargai kamu dengan mengatakan yang sebenarnya."

Percakapan kami berjalan ringan begitu saja. Diawali dengan membicarakan pekerjaan hingga diakhiri percakapan serius mengenai hidup dan masa depan. Walaupun rasanya sedih tapi saya harus bisa menerima kenyataan dan menerima kekhawatiran dia. Saya harus bisa mengerti meskipun Tuhan telah menciptakan rasa ini di hati saya.

Ya, mungkin kami lebih cocok sebagai teman baik dan teman untuk saling berbagi cerita tentang pengalaman hidup. That's all.

Comments